Cinta
Merpati Putih
Hari ini, aku telah
memutuskan ikut Ayah pindah dari Bandung ke Yogyakarta, selain tugas dinas,
tapi aku juga mencari Anggita sahabat kecilku di Bandung. Aku meninggalkan Ibu
dan adik perempuanku disini. Di Yogyakarta, aku tinggal bersama nenek di daereh
Kaliurang. Aku bersekolah di SMP Tunas Bangsa. Aku bertemu Anggi, sahabat
baruku. Aku juga berkenalan dengan seorang cowok tampan dan pintar bermain
basket. Afif, ya.. Dia menyatakan perasaannya padaku setelah aku mengenalnya
tujuh bulan. Aku tak bisa menolaknya, karena dia sangat baik. Aku
berterimakasih pada Anggi, karena Anggi, aku bisa dekat dengan Afif seperti
sekarang ini.
Malam Minggu, ya malam yang takkan pernah ku lupakan. Malam pertama kalinya aku pergi bersama Afif ke bioskop sendirian. Tak pernah ku sangka, mimpi dan bayang-bayang bertemu seorang pangeran tampan pun terwujud. Apalagi, saat dia memboncengkanku dengan motor maticnya, dia menatap dan memegang tanganku lembut. Hem…berdebar rasanya jantung ini. Sesampainya di XXI, kami langsung memesan dua tiket film Perth in Love dan duduk di barisan teratas. Aku menikmati malam ini dengan santai… santai… dan santai.
Malam Minggu, ya malam yang takkan pernah ku lupakan. Malam pertama kalinya aku pergi bersama Afif ke bioskop sendirian. Tak pernah ku sangka, mimpi dan bayang-bayang bertemu seorang pangeran tampan pun terwujud. Apalagi, saat dia memboncengkanku dengan motor maticnya, dia menatap dan memegang tanganku lembut. Hem…berdebar rasanya jantung ini. Sesampainya di XXI, kami langsung memesan dua tiket film Perth in Love dan duduk di barisan teratas. Aku menikmati malam ini dengan santai… santai… dan santai.
Pukul
21.00, kami pulang. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga
dirumah. “Afif, makasih ya untuk malam ini. Aku nggak akan melupakan malam ini.
Hati-hati di jalan ya... jangan ngebut, nanti.....” gumamku gundah. “Nanti apa?
O, nanti nggak bisa ketemu lagi ya? Hehe..” rayuannya. Aku membalasnya, “Apaan
sih? Ehm, udah malem nih, kamu pulang aja.” “Iya deh, bye..bye..” ucapnya
sembari meninggalkan rumah.
Hari
Senin tiba. Hari yang identik dengan upacara. Hm... asyik juga, karena bisa
ketemu Afif dan sobatku Anggi, hehehe… Di kelas, aku menceritakan jalan-jalanku
dengan Afif kemarin pada Anggi, ia menyela, “Put, kalau kamu happy, aku ikut
happy juga”. “Thankz ya my sohib” balasku. Saat pelajaran berlangsung, aku
surat-suratan dengan Afif. Saat istirahat, aku dan teman-teman ditraktir es
doger Bu Mike di kantin. Saat pulang, dia mengajakku jalan-jalan dan
mengantarku pulang.
Sesampainya
di rumah, aku memutar music kencang-kencang, dan telepon pun berdering.
Tlilililit… Tlililit “Hallo, Put kamu dimana sih?” Tanya Anggi. “Aku? Ya di
rumahlah” jawabku. “Kamu kok ninggalin aku?” “Ya ampun, aku lupa. Maaf ya, aku
bener-bener lupa mau nganter kamu ke Gramedia. Mau kujemput sekarang?” “Nggak,
makasih” ucapan terakhir Anggi yang kecewa. “Lagi-lagi marah, astaghfirullah..”
gumamku dalam hati. Sebuah telepon berdering dari Afif, “Halo, Put. Cepetan
sekarang kamu dengerin radio 106.10 FM. “Okay” balasku. Langsung aku cari
siaran radionya dan ternyata,.. Afif membacakan puisi cinta untukku. Hemm, aku
sangat terharu..
Keesokan harinya, wali kelas kami
mengumumkan bahwa Kamis besok ada UKK. Semua siswa kaget. Aku punya inisiatif
untuk belajar kelompok mulai hari ini sampai hari terakhir, di rumahku setiap
jam 14.00 dan semua menyetujuinya. Sepulang sekolah, seperti biasanya Afif
telah menungguku di depan pintu gerbang. Aku menghampirinya, “Maaf ya, aku
nggak bisa pulang bareng.” “Nggak apa kok, aku duluan ya” balasnya. “Oke, hati-hati”
balasku.
* * * * *
“Put…Put... bangun!” teriak Anggi yang
ternyata di kamarku. “Uaaaah, ada apa ini?” tanyaku. “Udah, sekarang kamu cepet
mandi dan sarapan, sekarang!!” bentaknya. “Iya..Iya bos”. Rapi semuanya, aku
bergegas menuju ruang tamu. Anggi langsung menarik tanganku dan mengajakku ke
suatu tempat. Lama-lama, udara disekitar semakin dingin dan waktu baru
menunjukkan pukul lima pagi!
“Anggi, kita ngapain sih disini?
Uuuuh, dinginnyaa” rintihku. “Aku sengaja bawa kamu ke bukit ini untuk bertemu
Anggita” ucapnya sambil menangis. “Maksud kamu apa? Kamu udah tau dimana
Anggita sekarang?” tanyaku. “Sudahlah, lupakan.” Anggi menarik tanganku dan
meninggalkan bukit ini. Selama perjalanan, Anggi masih menangis. Saat ku tanya,
dia tak mau menjawab. Huft, aku semakin bingung.
Untunglah sampai di sekolah. Tiba-tiba,
Fito, Riqi dan Bimo lari menghampiri kami, “Hari ini kita bebas!!” disusul oleh
Rasti, Flora dan Sisca, “Yippie.. Hari ini kita happy-happy..” Afif datang dan
mengajakku ke Gramedia. Teman-teman bersorak dan melambaikan tangan padaku. Aku
pun membalasnya dengan senyum tawa. Sampai rumah, dia memberikan sebuah novel Totto Chan. “Ehm, terimakasih ya”
ucapku. “Iya, sama-sama Putri.. Aku pulang ya, jangan lupa baca novelnya”
balasnya. “Siip pak pos, hehehe,” balasku.
Di kamar, aku langsung membaca novel
itu, dan di sampul tertulis for you,
Putri. Lima jam lamanya aku membaca dan selesai juga. “Astaghfirullah,
besok kan ujian. Mana aku belum belajar lagi” sesalku. Lalu aku mulai belajar
saat itu juga. Tiba-tiba, ayah menghampiriku, “Putri, besok ayah ada tugas di
Semarang. Kamu baik-baik ya sama nenek. Besok kalau Putri dapat rangking di
sekolah, ayah akan ajak Putri liburan. Gimana?” Aku menjawab semangat, “Mau
banget ayah. Ajak Afif dan teman-teman Putri, boleh?” “Boleh. Sekarang kamu
tidur, biar nggak ngantuk besok” pinta ayah. “Makasih ayah.” balasku.
Bel sekolah berbunyi. Ujian pun tiba.
Nyawa selanjutnya berada di tanganku sekarang. Perasaan takut, tegang, senang
beradu jadi satu. Hari pertama, kedua, dan ketiga ujian, dapat kulalui dengan
lancar. Namun pada ujian yang terakhir, sahabatku Anggi tidak dapat
mengikutinya karena sakit.
* * * * *
Hari yang ku nantikan pun tiba. Penerimaan
rapor. Alhamdulillah aku mendapat rangking tiga. Afif memberikan hadiah berisi
boneka sapi untukku. Kejutanku semakin lengkap saat ingat ayah akan mengajakku
berlibur. Tapi, sampai sekarang aku belum berjumpa dengan Anggi. Saat aku akan
meninggalkan sekolah, aku bertemu Anggi, ia melihatku dengan sinis, bahkan
tidak menyapa ataupun memberikan ucapan selamat padaku. Aku bingung, ada apa
dengannya?
Hari Senin aku, ayah, teman-temanku
dan Afif berangkat dari Bandara Adi Sucipto menuju Bandara Ngurah Rai dan siap
berlibur ke Pulau Dewata. Bali… Bali… Bali… Surganya para wisatawan. Hem…
kangen berat sama Bali. Pesona dan keindahan alamnya sudah menjadi lebih elok
dari masa lalu. Aku sudah tak sabar ingin berkeliling tempat wisata di Bali.
Disinilah, aku akan menghabiskan banyak waktu bersama teman-temanku dan sejenak
melupakan masalah-masalah yang telah menghantuiku.
Plesiran kami dimulai dari Pantai
Sanur, ke Pantai Kuta, berbelanja kaos oblong di Joger, memburu beberapa
souvenir di Pasar Sukowati, pergi ke Kintamani, dan melihat pertunjukan tari di
Garuda Wisnu Kencana. “Sayang, Anggi nggak ikut liburan”, keluhku. “Dari tadi
kamu mbahas soal Anggi terus, sudahlah lupakan saja”, ucap Rasti. ‘Benar kata
Rasti, selama disini kamu sering melamun”, ucap Afif. Aku hanya terdiam. “Kamu
lebih memilih Anggi atau aku, Put?” Deg. Aku kaget saat ia bertanya demikian.
“Aku nggak pilih semuanya. Kalian adalah orang yang paling penting dalam
hidupku. Aku nggak ingin kehilangan semuanya”, jawabku sembari menangis dan aku
memutuskan menyendiri untuk sementara waktu.
Hari Minggu, kami meninggalkan Bali,
pergi ke Bandara Ngurah Rai menuju Bandara Adi Sucipto. Di dalam pesawat, aku
menghindar dari semuanya dan terdiam termenung. Tiba-tiba, gelang
persahabatanku dengan Anggita dan Anggi putus. Spontan aku terkejut dan
ketakutan. Ayah menghampiriku. “Apa yang terjadi dengan Anggita dan Anggi?”
“Mereka pasti baik-baik saja. Putri jangan negative thinking ya!”, saran ayah.
Aku tertidur di pangkuan ayah sampai di rumah nenek.
Pukul satu siang, aku terbangun. Saat
aku membuka pintu kamar, “Happy birthday to tou… Happy birthday Putri…” “Ini
hari ulang tahunku?” tanyaku. “Ya ampun, sama ulang tahun sendiri kok lupa sih?”
ejek Bimo. “Hahaha, iyae. Makasih ya atas kejutannya!” “Sama-sama Putri
cantik…”, balas semuanya.
Aku merayakan ulang tahunku tanpa
kehadiran sahabatku lagi. Apa Anggi masih marah padaku? Atau lupa dengan hari
ini? Aku benar-benar bingung. Saat meniup lilin, aku membuat harapan, “Semoga
aku secepatnya bertemu Anggita dan berteman lagi dengan Anggi”. Saatnya potong
kue!! Seru Bimo. Potongan pertama kuberikan pada nenek, kedua untuk Ayah,
ketiga untuk Anggi, dan terakhir untuk Afif. Ya, walaupun dia begitu, tapi
Anggi tetaplah sahabat terbaikku dan aku berharap di akan datang. Tapi, dia tak
datang juga. Aku sangat kecewa.
Libur telah berlalu. Saatnya sekolah
pada Hari Senin. Tapi, Anggi tetap saja bersembunyi. Aku semakin kesal dengan
sosoknya yang semakin misterius. Apalagi Afif, yang selalu mengejarku. Setibaku
di rumah, nenek menyerahkan sepucuk surat merah dari Anggi. “Huft, males banget”, keluhku. Tapi, aku penasaran
dengan surat misterius itu. Aku mengambil suratnya dan perlahan membukanya.
Putri,
Bila kau mengharapkanku, aku akan
mengharapkanmu. Kutunggu kau disini. Di tempat yang tak terusik, Jauh dari
keramaian.
Anggi.
Deg.
Detak jantung berhenti seketika. Aku menghayati surat itu, mengartikannya dan
mencermatinya dengan sungguh-sungguh. “Rumah Sakit!” Entah mengapa aku sangat
yakin. Aku pun bergegas berpamitan pada nenek dan mencoba mendatangi RS. DR.
Sardjito. Setibanya disana, aku menuju receptionist. “Permisi mbak, pasien
bernama Anggi Kinantika di ruang mana ya?” tanyaku. “Sebentar ya, adek. Hm,
pasien sekarang masih dirawat di ruang ICU”, jawabnya. “Terimakasih mbak”. Aku
berlari menuju ruang ICU. “Sampai juga.” Dari luar, aku mendengar alunan bacaan
surat Yasin. “Itu bukan Anggi… Itu bukan Anggi!” teriakku dalam hati.
Aku pun masuk ke dalam ruangan,
memakai baju khusus yang diberikan suster. Kulihat daftar pasien bernama Anggi
dan ketemu! Ku datangi bilik itu berada. Kulihat Anggi terbaring lemah di
tempat tidur, banyak selang yang menempel di tubuh mungilnya. Tubuhku lemas tak
berdaya. Aku jatuh berlutut, menangis kehampaan. Ibu melihatku, dan membawaku
bertemu Anggi. Aku tak kuasa melihat keadaannya sekarang. Ibu berusaha tuk
menguatkanku, namun ku tak bisa.
Satu jam lamanya. Anggi terbangun dari
mimpinya. Ia memanggil namaku dan aku menghampirinya. “Maafin aku ya, aku nggak
bisa ikut seneng-seneng ma kalian. Aku memang egois, Put.” Aku membalasnya,
“Anggi, kamu itu nggak punya salah apa-apa sama aku. Kamu itu sahabatku yang
paling baik.” Tak berapa lama, teman-teman dari sekolah datang menjenguk,
termasuk Afif. Anggi meminta Afif untuk berdiri disampingnya. Ia memberikan
sebuah kotak hitam untukku, aku juga menyuapinya kue ulang tahunku kemarin. Setelah
kuterima, tiba-tiba kondisi Anggi semakin memburuk. Ibu memanggil dokter dan
mengerahkan seluruh tenaga untuk menyelamatkan Anggi. Aku tetap disini menemani
Ibu, sedangkan teman-teman menunggu di luar dan berdo’a bersama kepada Allah.
Namun sayang, Allah berkehendak lain.
Pada pukul 01.15 pagi Anggi telah pergi untuk selamanya, meninggalkan Ibu, aku,
dan teman-teman yang sangat menyayanginya. Aku langsung memeluk Anggi yang
sekujur tubuhnya telah kaku kedinginan. Aku menangis histeris, tak menyangka
akan pergi secepat ini. Aku langsung mengambil sebuah kotak hitam di meja dan
membaca sebuah surat.
Untuk Putri,
Put, aku minta maaf ya, kalau selama persahabatan kita ini
ada hal-hal yang nggak kita harapkan. Aku yang terlalu egois pasti udah buat
kamu kebingungan. Oiya, Selamat Ulang Tahun yaa. Maaf, kemarin aku nggak bisa
datang. Hm, ini ada sweater buat kamu. Aku membuatnya sendiri lho… hari pertama
aku disini, Ibu membantuku merajutnya. Yaa, walaupun aku sambil berbaring dan
berjuang melawan penyakit yang nggak bersahabat ini, tapi aku nggak kalah
semangatnya dengan yang lain. Semoga kamu senang dan menjaganya baik-baik ya.
Put, ini kenang-kenangan terakhir yang bisa kuberikan. Karna,
mulai detik ini juga aku akan menyusul Anggita, hidup bersamanya selamanya.
Tolong sampaikan permohonan maafku pada teman-teman, ayah, ibu dan nenek ya..
Semoga kamu baik-baik ya didunia yang penuh kemisteriusan ini. Aku titip
Ibu&Afif ke kamu ya. Aku nggak ingin kamu sendiri lagi.
Mungkin hanya ini yang ingin kusampaikan. Selamat tinggal
sahabat… Aku akan selalu setia menunggumu di sana. Jangan pernah lupakan
Anggita dan Aku yaa…
Yogyakarta, 9 Juli 2009
Anggi
Esoknya, bersama Ibu, Ayah, Mama,
Nenek, Teman-Teman, Bapak/Ibu Guru, Aku mengantarkan Anggi untuk yang terakhir
kalinya. Namun, ada yang janggal. Rasanya aku permah datang ke bukit ini
sebelumnya, tapi kapan? Setelah pemakaman selesai, aku bertanya pada Ibu apa
maksud Anggi berkata bahwa ia akan menyusul Anggita? Siapa Anggita sebenarnya?
Siapa? Ibu menjawab, “Anggita… Anggita adalah saudara sekandung Anggi. Anggita
sudah lama meninggal ketika ia kelas lima SD karena mengidap penyakit kanker
otak. Anggi kini telah menyusul kakaknya.”
Nggak ,nggak mungkin. Kenapa selama
ini Anggi nggak pernah cerita sedikitpun tentang Anggita, ataupun pentakit yang
dideritanya. Kenapa Anggi nggak terbuka sama aku soal hal ini? Aku kan
sahabatnya, aku pasti ngerti kok keadaannya kalau kayak begitu. Apa salahku?
Mengapa aku nggak boleh tahu? Mengapa cuma ia, Ibu dan Allah yang tahu?
Mengapaa? Aku menangis tak menyangka. Jadi, di bukit ini tempat Anggita berada
dan pada saat itu Anggi bertemu ia disini? Afif merangkulku erat-erat seakan
tak ingin kehilangan aku juga.
“Anggita, Anggi, kalian sahabat yang
paling baik yang pernah ku kenal. Aku mengerti kalau kalian begini terhadapku,
maafkan aku kalau aku telah salah paham sebelumnya. Selamat Ulang Tahun ya, hari
ini, kalian berulang tahun. Walaupun kalian tidak tinggal lagi disini, tapi aku
dapat merasakan kehangatan kalian disisiku. Hanya do’a yang bisa kuberikan.
Semoga kalian tenang disana, selalu tersenyum padaku, dan aku bisa bertemu
kalian lagi suatu saat nanti. Amin…” kata-kata terakhirku. “Amin…”, saut
teman-teman yang lain.
Lima menit kemudian, datanglah dua
burung merpati putih cantik hinggap di pohon. Kicaunnya yang merdu, membuatku
penasaran. Ku amati merpati putih itu, aku melihat sosok Anggita dan Anggi
berdiri di samping pohon itu dan tersenyum bahagia padaku.
Widjati RestuPutriana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar