ㄱ레ㅔ티ㅐ

I am a scientist. Love SHINee forever. My big numbers are 26 and 93.
Let's Move On!

Sabtu, 11 Februari 2012

My Own Cerpen

Cinta Merpati Putih



     Hari ini, aku telah memutuskan ikut Ayah pindah dari Bandung ke Yogyakarta, selain tugas dinas, tapi aku juga mencari Anggita sahabat kecilku di Bandung. Aku meninggalkan Ibu dan adik perempuanku disini. Di Yogyakarta, aku tinggal bersama nenek di daereh Kaliurang. Aku bersekolah di SMP Tunas Bangsa. Aku bertemu Anggi, sahabat baruku. Aku juga berkenalan dengan seorang cowok tampan dan pintar bermain basket. Afif, ya.. Dia menyatakan perasaannya padaku setelah aku mengenalnya tujuh bulan. Aku tak bisa menolaknya, karena dia sangat baik. Aku berterimakasih pada Anggi, karena Anggi, aku bisa dekat dengan Afif seperti sekarang ini.
     Malam Minggu, ya malam yang takkan pernah ku lupakan. Malam pertama kalinya aku pergi bersama Afif ke bioskop sendirian. Tak pernah ku sangka, mimpi dan bayang-bayang bertemu seorang pangeran tampan pun terwujud. Apalagi, saat dia memboncengkanku dengan motor maticnya, dia menatap dan memegang tanganku lembut. Hem…berdebar rasanya jantung ini. Sesampainya di XXI, kami langsung memesan dua tiket film Perth in Love dan duduk di barisan teratas. Aku menikmati malam ini dengan santai… santai… dan santai.
Pukul 21.00, kami pulang. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga dirumah. “Afif, makasih ya untuk malam ini. Aku nggak akan melupakan malam ini. Hati-hati di jalan ya... jangan ngebut, nanti.....” gumamku gundah. “Nanti apa? O, nanti nggak bisa ketemu lagi ya? Hehe..” rayuannya. Aku membalasnya, “Apaan sih? Ehm, udah malem nih, kamu pulang aja.” “Iya deh, bye..bye..” ucapnya sembari meninggalkan rumah.
Hari Senin tiba. Hari yang identik dengan upacara. Hm... asyik juga, karena bisa ketemu Afif dan sobatku Anggi, hehehe… Di kelas, aku menceritakan jalan-jalanku dengan Afif kemarin pada Anggi, ia menyela, “Put, kalau kamu happy, aku ikut happy juga”. “Thankz ya my sohib” balasku. Saat pelajaran berlangsung, aku surat-suratan dengan Afif. Saat istirahat, aku dan teman-teman ditraktir es doger Bu Mike di kantin. Saat pulang, dia mengajakku jalan-jalan dan mengantarku pulang.
Sesampainya di rumah, aku memutar music kencang-kencang, dan telepon pun berdering. Tlilililit… Tlililit “Hallo, Put kamu dimana sih?” Tanya Anggi. “Aku? Ya di rumahlah” jawabku. “Kamu kok ninggalin aku?” “Ya ampun, aku lupa. Maaf ya, aku bener-bener lupa mau nganter kamu ke Gramedia. Mau kujemput sekarang?” “Nggak, makasih” ucapan terakhir Anggi yang kecewa. “Lagi-lagi marah, astaghfirullah..” gumamku dalam hati. Sebuah telepon berdering dari Afif, “Halo, Put. Cepetan sekarang kamu dengerin radio 106.10 FM. “Okay” balasku. Langsung aku cari siaran radionya dan ternyata,.. Afif membacakan puisi cinta untukku. Hemm, aku sangat terharu..
          Keesokan harinya, wali kelas kami mengumumkan bahwa Kamis besok ada UKK. Semua siswa kaget. Aku punya inisiatif untuk belajar kelompok mulai hari ini sampai hari terakhir, di rumahku setiap jam 14.00 dan semua menyetujuinya. Sepulang sekolah, seperti biasanya Afif telah menungguku di depan pintu gerbang. Aku menghampirinya, “Maaf ya, aku nggak bisa pulang bareng.” “Nggak apa kok, aku duluan ya” balasnya. “Oke, hati-hati” balasku.
* * * * *
          “Put…Put... bangun!” teriak Anggi yang ternyata di kamarku. “Uaaaah, ada apa ini?” tanyaku. “Udah, sekarang kamu cepet mandi dan sarapan, sekarang!!” bentaknya. “Iya..Iya bos”. Rapi semuanya, aku bergegas menuju ruang tamu. Anggi langsung menarik tanganku dan mengajakku ke suatu tempat. Lama-lama, udara disekitar semakin dingin dan waktu baru menunjukkan pukul lima pagi!
          “Anggi, kita ngapain sih disini? Uuuuh, dinginnyaa” rintihku. “Aku sengaja bawa kamu ke bukit ini untuk bertemu Anggita” ucapnya sambil menangis. “Maksud kamu apa? Kamu udah tau dimana Anggita sekarang?” tanyaku. “Sudahlah, lupakan.” Anggi menarik tanganku dan meninggalkan bukit ini. Selama perjalanan, Anggi masih menangis. Saat ku tanya, dia tak mau menjawab. Huft, aku semakin bingung.
          Untunglah sampai di sekolah. Tiba-tiba, Fito, Riqi dan Bimo lari menghampiri kami, “Hari ini kita bebas!!” disusul oleh Rasti, Flora dan Sisca, “Yippie.. Hari ini kita happy-happy..” Afif datang dan mengajakku ke Gramedia. Teman-teman bersorak dan melambaikan tangan padaku. Aku pun membalasnya dengan senyum tawa. Sampai rumah, dia memberikan sebuah novel Totto Chan. “Ehm, terimakasih ya” ucapku. “Iya, sama-sama Putri.. Aku pulang ya, jangan lupa baca novelnya” balasnya. “Siip pak pos, hehehe,” balasku.
          Di kamar, aku langsung membaca novel itu, dan di sampul tertulis for you, Putri. Lima jam lamanya aku membaca dan selesai juga. “Astaghfirullah, besok kan ujian. Mana aku belum belajar lagi” sesalku. Lalu aku mulai belajar saat itu juga. Tiba-tiba, ayah menghampiriku, “Putri, besok ayah ada tugas di Semarang. Kamu baik-baik ya sama nenek. Besok kalau Putri dapat rangking di sekolah, ayah akan ajak Putri liburan. Gimana?” Aku menjawab semangat, “Mau banget ayah. Ajak Afif dan teman-teman Putri, boleh?” “Boleh. Sekarang kamu tidur, biar nggak ngantuk besok” pinta ayah. “Makasih ayah.” balasku.
          Bel sekolah berbunyi. Ujian pun tiba. Nyawa selanjutnya berada di tanganku sekarang. Perasaan takut, tegang, senang beradu jadi satu. Hari pertama, kedua, dan ketiga ujian, dapat kulalui dengan lancar. Namun pada ujian yang terakhir, sahabatku Anggi tidak dapat mengikutinya karena sakit.
* * * * *
          Hari yang ku nantikan pun tiba. Penerimaan rapor. Alhamdulillah aku mendapat rangking tiga. Afif memberikan hadiah berisi boneka sapi untukku. Kejutanku semakin lengkap saat ingat ayah akan mengajakku berlibur. Tapi, sampai sekarang aku belum berjumpa dengan Anggi. Saat aku akan meninggalkan sekolah, aku bertemu Anggi, ia melihatku dengan sinis, bahkan tidak menyapa ataupun memberikan ucapan selamat padaku. Aku bingung, ada apa dengannya?
          Hari Senin aku, ayah, teman-temanku dan Afif berangkat dari Bandara Adi Sucipto menuju Bandara Ngurah Rai dan siap berlibur ke Pulau Dewata. Bali… Bali… Bali… Surganya para wisatawan. Hem… kangen berat sama Bali. Pesona dan keindahan alamnya sudah menjadi lebih elok dari masa lalu. Aku sudah tak sabar ingin berkeliling tempat wisata di Bali. Disinilah, aku akan menghabiskan banyak waktu bersama teman-temanku dan sejenak melupakan masalah-masalah yang telah menghantuiku.
          Plesiran kami dimulai dari Pantai Sanur, ke Pantai Kuta, berbelanja kaos oblong di Joger, memburu beberapa souvenir di Pasar Sukowati, pergi ke Kintamani, dan melihat pertunjukan tari di Garuda Wisnu Kencana. “Sayang, Anggi nggak ikut liburan”, keluhku. “Dari tadi kamu mbahas soal Anggi terus, sudahlah lupakan saja”, ucap Rasti. ‘Benar kata Rasti, selama disini kamu sering melamun”, ucap Afif. Aku hanya terdiam. “Kamu lebih memilih Anggi atau aku, Put?” Deg. Aku kaget saat ia bertanya demikian. “Aku nggak pilih semuanya. Kalian adalah orang yang paling penting dalam hidupku. Aku nggak ingin kehilangan semuanya”, jawabku sembari menangis dan aku memutuskan menyendiri untuk sementara waktu.
          Hari Minggu, kami meninggalkan Bali, pergi ke Bandara Ngurah Rai menuju Bandara Adi Sucipto. Di dalam pesawat, aku menghindar dari semuanya dan terdiam termenung. Tiba-tiba, gelang persahabatanku dengan Anggita dan Anggi putus. Spontan aku terkejut dan ketakutan. Ayah menghampiriku. “Apa yang terjadi dengan Anggita dan Anggi?” “Mereka pasti baik-baik saja. Putri jangan negative thinking ya!”, saran ayah. Aku tertidur di pangkuan ayah sampai di rumah nenek.
          Pukul satu siang, aku terbangun. Saat aku membuka pintu kamar, “Happy birthday to tou… Happy birthday Putri…” “Ini hari ulang tahunku?” tanyaku. “Ya ampun, sama ulang tahun sendiri kok lupa sih?” ejek Bimo. “Hahaha, iyae. Makasih ya atas kejutannya!” “Sama-sama Putri cantik…”, balas semuanya.
          Aku merayakan ulang tahunku tanpa kehadiran sahabatku lagi. Apa Anggi masih marah padaku? Atau lupa dengan hari ini? Aku benar-benar bingung. Saat meniup lilin, aku membuat harapan, “Semoga aku secepatnya bertemu Anggita dan berteman lagi dengan Anggi”. Saatnya potong kue!! Seru Bimo. Potongan pertama kuberikan pada nenek, kedua untuk Ayah, ketiga untuk Anggi, dan terakhir untuk Afif. Ya, walaupun dia begitu, tapi Anggi tetaplah sahabat terbaikku dan aku berharap di akan datang. Tapi, dia tak datang juga. Aku sangat kecewa.
          Libur telah berlalu. Saatnya sekolah pada Hari Senin. Tapi, Anggi tetap saja bersembunyi. Aku semakin kesal dengan sosoknya yang semakin misterius. Apalagi Afif, yang selalu mengejarku. Setibaku di rumah, nenek menyerahkan sepucuk surat merah dari Anggi. “Huft, males banget”, keluhku. Tapi, aku penasaran dengan surat misterius itu. Aku mengambil suratnya dan perlahan membukanya.
 
Putri,
Bila kau mengharapkanku, aku akan mengharapkanmu. Kutunggu kau disini. Di tempat yang tak terusik, Jauh dari keramaian.

                                                                                      Anggi.
Deg. Detak jantung berhenti seketika. Aku menghayati surat itu, mengartikannya dan mencermatinya dengan sungguh-sungguh. “Rumah Sakit!” Entah mengapa aku sangat yakin. Aku pun bergegas berpamitan pada nenek dan mencoba mendatangi RS. DR. Sardjito. Setibanya disana, aku menuju receptionist. “Permisi mbak, pasien bernama Anggi Kinantika di ruang mana ya?” tanyaku. “Sebentar ya, adek. Hm, pasien sekarang masih dirawat di ruang ICU”, jawabnya. “Terimakasih mbak”. Aku berlari menuju ruang ICU. “Sampai juga.” Dari luar, aku mendengar alunan bacaan surat Yasin. “Itu bukan Anggi… Itu bukan Anggi!” teriakku dalam hati.
          Aku pun masuk ke dalam ruangan, memakai baju khusus yang diberikan suster. Kulihat daftar pasien bernama Anggi dan ketemu! Ku datangi bilik itu berada. Kulihat Anggi terbaring lemah di tempat tidur, banyak selang yang menempel di tubuh mungilnya. Tubuhku lemas tak berdaya. Aku jatuh berlutut, menangis kehampaan. Ibu melihatku, dan membawaku bertemu Anggi. Aku tak kuasa melihat keadaannya sekarang. Ibu berusaha tuk menguatkanku, namun ku tak bisa.
          Satu jam lamanya. Anggi terbangun dari mimpinya. Ia memanggil namaku dan aku menghampirinya. “Maafin aku ya, aku nggak bisa ikut seneng-seneng ma kalian. Aku memang egois, Put.” Aku membalasnya, “Anggi, kamu itu nggak punya salah apa-apa sama aku. Kamu itu sahabatku yang paling baik.” Tak berapa lama, teman-teman dari sekolah datang menjenguk, termasuk Afif. Anggi meminta Afif untuk berdiri disampingnya. Ia memberikan sebuah kotak hitam untukku, aku juga menyuapinya kue ulang tahunku kemarin. Setelah kuterima, tiba-tiba kondisi Anggi semakin memburuk. Ibu memanggil dokter dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menyelamatkan Anggi. Aku tetap disini menemani Ibu, sedangkan teman-teman menunggu di luar dan berdo’a bersama kepada Allah.
          Namun sayang, Allah berkehendak lain. Pada pukul 01.15 pagi Anggi telah pergi untuk selamanya, meninggalkan Ibu, aku, dan teman-teman yang sangat menyayanginya. Aku langsung memeluk Anggi yang sekujur tubuhnya telah kaku kedinginan. Aku menangis histeris, tak menyangka akan pergi secepat ini. Aku langsung mengambil sebuah kotak hitam di meja dan membaca sebuah surat.

Untuk Putri,
Put, aku minta maaf ya, kalau selama persahabatan kita ini ada hal-hal yang nggak kita harapkan. Aku yang terlalu egois pasti udah buat kamu kebingungan. Oiya, Selamat Ulang Tahun yaa. Maaf, kemarin aku nggak bisa datang. Hm, ini ada sweater buat kamu. Aku membuatnya sendiri lho… hari pertama aku disini, Ibu membantuku merajutnya. Yaa, walaupun aku sambil berbaring dan berjuang melawan penyakit yang nggak bersahabat ini, tapi aku nggak kalah semangatnya dengan yang lain. Semoga kamu senang dan menjaganya baik-baik ya.
Put, ini kenang-kenangan terakhir yang bisa kuberikan. Karna, mulai detik ini juga aku akan menyusul Anggita, hidup bersamanya selamanya. Tolong sampaikan permohonan maafku pada teman-teman, ayah, ibu dan nenek ya.. Semoga kamu baik-baik ya didunia yang penuh kemisteriusan ini. Aku titip Ibu&Afif ke kamu ya. Aku nggak ingin kamu sendiri lagi.
Mungkin hanya ini yang ingin kusampaikan. Selamat tinggal sahabat… Aku akan selalu setia menunggumu di sana. Jangan pernah lupakan Anggita dan Aku yaa…
                                                                                                     
 Yogyakarta, 9 Juli 2009
                                                                                                                    

Anggi

          Esoknya, bersama Ibu, Ayah, Mama, Nenek, Teman-Teman, Bapak/Ibu Guru, Aku mengantarkan Anggi untuk yang terakhir kalinya. Namun, ada yang janggal. Rasanya aku permah datang ke bukit ini sebelumnya, tapi kapan? Setelah pemakaman selesai, aku bertanya pada Ibu apa maksud Anggi berkata bahwa ia akan menyusul Anggita? Siapa Anggita sebenarnya? Siapa? Ibu menjawab, “Anggita… Anggita adalah saudara sekandung Anggi. Anggita sudah lama meninggal ketika ia kelas lima SD karena mengidap penyakit kanker otak. Anggi kini telah menyusul kakaknya.”
          Nggak ,nggak mungkin. Kenapa selama ini Anggi nggak pernah cerita sedikitpun tentang Anggita, ataupun pentakit yang dideritanya. Kenapa Anggi nggak terbuka sama aku soal hal ini? Aku kan sahabatnya, aku pasti ngerti kok keadaannya kalau kayak begitu. Apa salahku? Mengapa aku nggak boleh tahu? Mengapa cuma ia, Ibu dan Allah yang tahu? Mengapaa? Aku menangis tak menyangka. Jadi, di bukit ini tempat Anggita berada dan pada saat itu Anggi bertemu ia disini? Afif merangkulku erat-erat seakan tak ingin kehilangan aku juga.
          “Anggita, Anggi, kalian sahabat yang paling baik yang pernah ku kenal. Aku mengerti kalau kalian begini terhadapku, maafkan aku kalau aku telah salah paham sebelumnya. Selamat Ulang Tahun ya, hari ini, kalian berulang tahun. Walaupun kalian tidak tinggal lagi disini, tapi aku dapat merasakan kehangatan kalian disisiku. Hanya do’a yang bisa kuberikan. Semoga kalian tenang disana, selalu tersenyum padaku, dan aku bisa bertemu kalian lagi suatu saat nanti. Amin…” kata-kata terakhirku. “Amin…”, saut teman-teman yang lain.
          Lima menit kemudian, datanglah dua burung merpati putih cantik hinggap di pohon. Kicaunnya yang merdu, membuatku penasaran. Ku amati merpati putih itu, aku melihat sosok Anggita dan Anggi berdiri di samping pohon itu dan tersenyum bahagia padaku.
                                                                                                         
 Widjati RestuPutriana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar